PENILAIAN
KARAKTERISTIK / SIFAT FISIK BAHAN PAKAN TEPUNG ECENG GONDOK)
I. PENDAHULUAN
I.
Latar
Belakang
Eceng gondok (Eichorniacrassipes) merupakan
tumbuhan air yang tumbuh di rawa-rawa, danau, waduk dan sungai yang alirannya
tenang. Tanaman ini menjadi kendala di daerah tersebut, karena pertumbuhan
bergitu cepat dalam sehari sekitar 3%, sehingga dalam waktu yang capat dapat
menutupi permukaan rawa atau danau. Keberadaan tanaman ini lebih sering
dianggap sebagai gulma air yang sangat merugikan manusia, karena menyebabkan
pendangkalan sungai atau waduk serta menyebabkan penguapan air dan penurunan
unsur hara yang cukup besar (Mahmilia, 2005).
Jika untuk pakan ternak, eceng
gondok harus diolah terlebih dahulu karena tingginya kandungan serat kasar.
Salah satu teknik pengolahannya melalui teknologi fermentasi. Pada proses ini,
eceng gondok diolah menjadi tepung, lalu difermentasi secara padat dengan
menggunakan campuran mineral dan mikroba Trichoderma harzianum yang dilakukan
selama empat hari pada suhu ruang. Proses fermentasi ini mampu meningkatkan
nilai gizi yang terkandung dalam eceng gondok.
Karakteristik atau sifat ransum sangat berpengaruh dalam menunjang
keberhasilan suatu usaha peternakan. Kebanyakan peternak lebih memilih
menggunakan ransum buatan pabrik ketimbang memformulasi sendiri, hal ini
menyebabkan biaya produksi lebih besar. Padahal ketersediaan bahan baku lokal
cukup banyak dan mudah didapatkan. Akan tetapi kebanyakan bahan pakan ternak
mempunyai perbedaan karakteristik atau sifat.
Selama ini ada tiga bentuk ransum yang dikenal para peternak, yaitu : 1).
tepung (mash), bentuk ini yang lama digunakan di Indonesia. 2). butiran lengkap
(pellet), bentuk ini telah mendapat perlakuan teknis dari bentuk mash dan
sangat digemari oleh ternak. 3). butiran lengkap terpecah (crumble), ransum ini
bentuk butiran tetapi kecil-kecil, sama halnya dengan pellet, pakan ini juga
digemari oleh ternak. Ransum bentuk mash kurang digemari oleh ternak bila
dibandingkan dengan ransum bentuk pellet dan crumble, akan tetapi ransum mash
lebih mudah diserap usus ayam yang menyebabkan efesiensi lebih baik dan dapat
digunakan untuk semua umur.
Selain bentuk ransum, penyimpanan juga turut andil dalam mendukung
keberhasilan bisnis beternak, karena salah satu fungsi penyimpanan adalah
menjaga stabilitas ketersedian pakan yang cukup dan aman untuk dikonsumsi
ternak. Pakan yang sudah jadi (siap konsumsi) pada umumnya telah mengalami
perubahan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Kadar air sebagai salah
satu contoh perubahan kuantitatif, akan yang stabil dengan kadar
air tertentu dapat berubah stabilitasnya apabila lingkungan tempat dan lama
(waktu) penyimpanan yang tidak mendukung.
Penyimpanan yang terlalu lama merupakan penyebab utama pakan menjadi
keras dan menggumpal serta memungkinkan untuk bertumbuh kembangnya jamur,
kapang dan mikroorganisme lain, sehingga bisa menurunkan kualitas pakan,
seperti contoh kasus yang terjadi pada pakan pabrik (komersial). Biasanya pakan
buatan pabrik telah mengalami penyimpanan, mulai dari gudang, pengangkutan
(transportasi) sampai berakhir ditangan peternak(konsumen).
Salah satu uji yang digunakan
untuk mengukur kualitas ransum ini adalah uji sifat fisik, yaitu : berat jenis,
kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpuan, dan sudut tumpukan.
Sekurang-kurangnya keempat uji ini sangat penting diketahui oleh para peternak,
karena disamping bisa dijadikan indikator penurunan kualitas ransum, turut juga
mempengaruhi volume ruang penyimpanan baik curah atau berwadah, penimbangan dan
pengangkutan.
II. Tujuan
Percobaan ini bertujuan untuk melihat perubahan karakteristik fisik pakan pada Eceng gondok (Eichorniacrassipes) dalam perlakuan direbus dan tanpa direbus
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Sistematika dan Botani Tanaman Eceng Gondok
Eceng gondok atau enceng
gondok (Latin:Eichhornia crassipes) adalah salah satu
jenis tumbuhan air mengapung. Selain dikenal dengan nama eceng
gondok, di beberapa daerah di Indonesia,
eceng gondok mempunyai nama lain seperti di daerah Palembang dikenal
dengan nama Kelipuk, di Lampung dikenal
dengan nama Ringgak, di Dayak dikenal
dengan nama Ilung-ilung, di Manado dikenal
dengan nama Tumpe.
Eceng gondok pertama kali ditemukan secara tidak
sengaja oleh seorang ilmuwan bernama Carl Friedrich Philipp von Martius, seorang ahli botani berkebangsaan Jerman pada
tahun 1824 ketika sedang melakukan ekspedisi diSungai Amazon Brasil. Eceng gondok memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi
sehingga tumbuhan ini dianggap sebagai gulma yang
dapat merusak lingkungan perairan. Eceng gondok dengan mudah menyebar melalui
saluran air ke badan air lainnya.
Kerajaan: |
|
Divisi: |
|
Kelas: |
|
Ordo: |
|
Famili: |
|
Genus: |
Eichhornia |
Spesies: |
E.
crassipes |
2.2
Habitat Eceng Gondok
Eceng gondok
tumbuh di kolam-kolam dangkal, tanah basah dan rawa, aliran air yang lambat,
danau, tempat penampungan air dan sungai. Tumbuhan ini dapat beradaptasi dengan
perubahan yang ekstrem dari ketinggian air, arus air, dan perubahan
ketersediaan nutrien, pH, temperatur dan racun-racun dalam air. Pertumbuhan eceng gondok yang
cepat terutama disebabkan oleh air yang mengandung nutrien yang tinggi,
terutama yang kaya akan nitrogen, fosfat dan potasium (Laporan FAO).
Kandungan garam
dapat menghambat pertumbuhan eceng gondok seperti yang terjadi pada danau-danau
di daerah pantai Afrika Barat, di mana eceng
gondok akan bertambah sepanjang musim hujan
dan berkurang
saat kandungan garam naik pada musim kemarau.
2.3 Akibat-akibat
negatif yang ditimbulkan eceng gondok
Meningkatnya evapotranspirasi (penguapan
dan hilangnya air melalui daun-daun tanaman), karena daun-daunnya yang lebar
dan serta pertumbuhannya yang cepat.
Menurunnya
jumlah cahaya yang masuk kedalam perairan sehingga menyebabkan menurunnya
tingkat kelarutan oksigen dalam air
(DO: Dissolved Oxygens).
Tumbuhan eceng
gondok yang sudah mati akan turun ke dasar perairan sehingga mempercepat
terjadinya proses pendangkalan.
Mengganggu lalu
lintas (transportasi) air, khususnya bagi masyarakat yang kehidupannya masih
tergantung dari sungai seperti di pedalaman Kalimantan dan
beberapa daerah lainnya.
Meningkatnya
habitat bagi vektor penyakit pada manusia. Menurunkan nilai estetika lingkungan
perairan.
2.4 Penanggulangan
Karena eceng
gondok dianggap sebagai gulma yang
mengganggu maka berbagai cara dilakukan untuk menanggulanginya.
Tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mengatasinya antara lain:
1. Menggunakan herbisida
2. Mengangkat
eceng gondok tersebut secara langsung dari lingkungan perairan
3. Menggunakan predator (hewan
sebagai pemakan eceng gondok), salah satunya adalah dengan menggunakan ikan
grass carp (Ctenopharyngodon idella) atau ikan koan. Ikan grass carp
memakan akar eceng gondok, sehingga keseimbangan gulma di permukaan air hilang,
daunnya menyentuh permukaan air sehingga terjadi dekomposisi dan kemudian
dimakan ikan. Cara ini pernah dilakukan di danau Kerinci dan
berhasil mengatasi eceng gondok di danau tersebut.
4. Memanfaatkan
eceng gondok tersebut, misalnya sebagai bahan pembuatan kertas, kompos, biogas, perabotan, kerajinan tangan, sebagai
media pertumbuhan bagi jamur merang, dsb.
2.4 Pembersihan Logam Berat
Walaupun eceng gondok
dianggap sebagai gulma di perairan, tetapi sebenarnya ia berperan dalam
menangkap polutan logam berat. Rangkaian penelitian seputar kemampuan eceng
gondok oleh peneliti Indonesia antara lain oleh Widyanto dan Susilo (1977) yang
melaporkan dalam waktu 24 jam eceng gondok mampu menyerap logam kadmium (Cd),
merkuri (Hg), dan nikel (Ni), masing- masing sebesar 1,35 mg/g, 1,77 mg/g, dan
1,16 mg/g bila logam itu tak bercampur. Eceng gondok juga menyerap Cd 1,23
mg/g, Hg 1,88 mg/g dan Ni 0,35 mg/g berat kering apabila logam-logam itu berada
dalam keadaan tercampur dengan logam lain. Lubis dan Sofyan (1986) menyimpulkan
logam chrom (Cr) dapat diserap oleh eceng gondok secara maksimal pada pH 7.
Dalam penelitiannya, logam Cr semula berkadar 15 ppm turun hingga 51,85 persen Selain dapat menyerap logam berat,
eceng gondok dilaporkan juga mampu menyerap residu pestisida.
2.5
Karakteristik
fisik pakan
Sifat fisik merupakan bagian dari karakteristik mutu (berhubungan dengan
nilai kepuasan konsumen terhadap bahan) dan sifat fisik ini masuk pada kategori
sifat-sifat mutu (besaran yang dapat langsung diamati atau diukur dari bahan
tersebut). Sifat-sifat bahan merupakan faktor mutu yang penting karena kegunaan
atau keragaman dari komoditi itu ditentukan oleh sifat-sifat bahan yang
mencirikan beberpa sifat mutu produk yang diturunkan dari beberapa pengukuran
sifat fisik, contohnya adalah berat jenis (BJ), diperoleh dari perhitungan
pembagian dua pengukuran berat dan volume (Damayanthi dan mudjanjanto, 1995).
Pada bidang teknologi pangan, sifat fisik pangan relatif sudah banyak
diteliti, karena data tentang sifat fisik ini sangat berguna, misalnya dalam
rancangan suatu alat (penanganan) dan sarana (penyimpanan dan transportasi)
industri pengolahan hasil pertanian. Disamping itu, pengetahuan ini juga sangat
penting dalam pemilihan komoditi yang cocok untuk produksi dan penganekaragaman
atau penciptaan produk baru (Syarif dan Irawati, 1988).
Secara umum sekurang-kurangnya
ada 6 sifat fisik pakan yang penting, yaitu berat jenis, kerapatan tumpukan,
kerapatan pemadatan tumpukan, sudut tumpukan, daya amabang, dan faktor
higroskopis (khalil, 1999) . Oleh bahwa sifat morfologi yaitu bentuk bahan
pakan (tepung, butiran, padatan) dan ukuran bahan (berat, volume, diameter,
panjang, lebar) dimana sifat morfologi bahan ini akan diukur dengan pengujian
sifat fisik, merupakan kategori sifat fisik bahan yang penting dalam pengawasan
mutu (Darmayanthi dan Mudjajanto, 1995).
2.6
Berat Jenis (BJ)
Menurut Khalil (1999a), berat jenis atau disebut juga berat spesifik,
merupakan perbandingan antara massa bahan terhadap volumenya. Satuannya adalah
gram/ml. Berat jenis memegang peranan penting dalam berbagai pengolahan,
penanganan dan penyimpanan. Pertama, berat jenis merupakan faktor penentu dari kerapatan tumpukan. Kedua, berat
jenis juga memberikan pengaruh besar terhadap daya ambang partikel pakan.
Ketiga, berat jenis bersama dengan ukuran partikel bertanggung jawab terhadap
homogenitas penyebaran partikel dan stabilitasnya dalam suatu campuran pakan.
Ransum yang terdiri dari partikel yang perberdaan BJ-nya cukup besar, maka
campuran ini tidak stabil dan cenderung mudah terpisah kembali. Keempat, berat
jenis sangat menentukan tingkat ketelitian dalam proses penakaran secara
otomatis pada pabrik pakan, seperti dalam proses pengemasan dan pengeluaran
bahan dari dalam silo untuk dicampur atau digiling.
2.7
Kerapatan Tumpukan (KT)
Kerapatan
tumpukan adalah perbandingan antara berat bahan dengan volume ruang yang
ditempatinya. Satuannya adalah gram/ml. Sifat ini memegang peranan penting dalam memperhitungkan volume ruang yang
dibutuhkan suatu bahan dengan berat tertentu, seperti misalnya dalam pengisian
silo dan gudang (curah dan wadah). Elevator dan ketelitian penakaran secara
otomatis, sebagaimana halnya berat jenis (Khalil,1999b).
Menurut Khalil (1999a) ukuran partikel berpengaruh terhadap kerapatan tumpukan yaitu pengecilan ukuran partikel secara nyata akan menyebabkan penurunan nilai kerapatan tumpukan pada bahan. Lebih lanjut dikatakan bahwa selain pengecilan ukuran partikel, kandungan air juga turut berpengaruh nyata terhadap kerapatan tumpukan sebagian besar bahan pakan sumber mineral, sumber protein hewani dan nabati, pakan hijauan dan pakan sumber energi. Nilai kerapatan tumpukan akan semakin menurun bersamaan dengan naiknya kadar air. Lebih lanjut mengatakan bahwa kerapatan tumpukan lebih penting dari pada berat jenis bahan dalam pengeringan dan penyimpanan secara praktis.
2.7
Kerapatan Pemadatan Tumpukan (KPT)
Kerapatan
pemadatan tumpukan merupakan perbandingan antara berat bahan terhadap volume ruang
yang ditempati setelah melalui proses
pemadatan seperti penggoyangan (Khalil,1999).
Kerapatan pemadatan tumpukan adalah merupakan perbandingan antara berat bahan pakan terhadap volume ruang yang ditempatinya setelah melalui proses pemadatan seperti penggoyangan. Kapasitas silo, kontainer dan kemasan seperti karung terletak antara kerapatan tumpukan dan kerapatan pemadatan tumpukan. Besarnya nilai kerapatan pemadatan tumpukan sangat tergantung pada intensitas proses pemadatan. Sedangkan volume yang dibaca merupakan volume terkecil yang diperoleh selama penggetaran. Sebaiknya pemadatan dilakukan tidak lebih dari 10 menit (Mujnisa, 2008).
Menurut Sayekti (1999)
kerapatan pemadatan tumpukan ini dipengaruhi oleh kadar air dan ukuran
partikel, juga turut dipengaruhi oleh ketidak tepatan pengukuran. Sebaiknya
pengukuran kerapatan pemadatan tumpukan dilakukan dengan menggunakan mesin
penggoyang yang diketahui kekuatannya dan dijamin kekonsistennya.
2.7
Sudut Tumpukan (ST)
Sudut tumpukan adalah sudut yang terbentuk jika bahan dicurahkan pada
bidang datar melalui sebuah corong, dengan satuan (o).
Sudut tumpukan ini merupakan kriteria kebebasan bergerak partikel dari suatu
tumpukan bahan. Pergerakan partikel dari suatu tumpukan bahan. Pergerakan
partikel bahan yang ideal ditunjukkan oleh pakan bentuk cair, dengan sudut
tumpukan sama degan nol. Pakan bentuk padat mempunyai sudut tumpukan berkisar
antara 20o dan 50o (Khalil, 1999).
Pendapat ini selaras dengan
Syarif dan Halid (1993), bahwa keduanya mengatakan bahwa selain ukuran partikel
(bentuk) pakan, kadar air turut berpengaruh nyata terhadap nilai rataan sudut
tumpukan pakan, yaitu semakin tinggi kadar air semakin tinggi sudut tumpukan.
Sifat fisik ini perlu diketahui untuk mendesain corong pemasukan (hopper)
ataupun corong pengeluaran, misalnya pada silo atau pada mesin pengolahan.
Kesalahan desain corong karena kurang pengetahuan tentang sudut tumpukan,
komoditas dapat mengakibatkan kemacetan karena corong tersumbat oleh komoditas
yang tidak lewat dengan lancar (Syarief dan Irawati, 1988).
III
PELAKSANAAN PERCOBAAN
2.1 Tempat dan Waktu
Percobaain ini di lakukan di Laboraturium Fakultas
Pertanian Universitas Musi Rawas pada
bulan Mei 2014
2.2 Bahan
dan Alat
Bahan yang di gunakan adalah 1. Eceng Gondok; 2. Air;
dan 3. Aquades sedangkan alat yang di
gunakan adalah 1. Pisau; 2. Ember; 3.
Timbangan; 4. Oven; 5. Gelas Ukur ; 6.
Gelas Elemeyer; 7. Blender; 8. Ayakan; 9. Mistar; 10. Dandang; dan 11. Alat
Tulis.
2.3
Metode Analisa
Metode yang di lakukan dengan rancangan RAL non Factorial
di mana terdapat 2 perlakuan setiap perlakuan di ulang sebanyak 5 kali adapun
perlakuan sebagai berikut :
E1 : Eceng gondok tampa perebusa
E2 : Eceng gondok di lakukan perebusan
Untuk
mengetahui pengaruh perebutan dan tanpa perebusan eceng gondok yang diuji
cobakan digunakan model matematis sebagai berikut :
Y = m
+ K + T ( a + b
+ a
b
) + Î
Dimana
:
Y : Nilai pengamatan hasil percobaan
m : Nilai rata-rata (mean) harapan
K : Pengaruh kelompok
T : Pengaruh perlakuan
a : Pengaruh tampa perebusan
b : Perngaruh Pupuk NPK
a b : Pengaruh interaksi perlakuan
Î
: Galad
Untuk
melihat dari masing-masing perlakuan dan interaksinya dapat diuji dengan
menggunakan analisis keragaman yang tersaji dalam
Tabel 2.
Tabel 1. Analisis Keragaman
Rancangan Acak Kelompok Faktorial.
Sumber Keragaman (SK) |
Derajad Bebas (DB) |
Jumlah Kuadrat (JK) |
Kuadrat Tengah (JT) |
F-Hitung |
F- Tabel |
|
5% |
1% |
|||||
Kelompok |
r- 1= v1 |
JKK |
JKK/v1 |
KTK/KTG |
|
|
Perlakuan |
p-1= v2 |
JKP |
JKK/v2 |
KTP/KTG |
|
|
Interaksi |
(k-1)(d-1)=V5 |
JKI |
JKI/v5 |
KTI/KTG |
|
|
Galat |
Vt-Vl-V2= V6 |
JKG |
JKG/v6 |
|
|
|
Total |
k.d.g
= Vt |
|
|
|
|
|
Sumber: Gomez dan Gomez
1995
Sedangkan untuk melihat
tingkat ketelitian dari proses penelitian yang dilakukan perlu dilakukan uji
Koefesien Keragaman (KK) dengan rumus sebagai berikut :
Dimana
: KK = Koefisien Keragaman
KTG = Kuadrat Tengah
Galad
Untuk mengetahui
pengaruh masing-masing perlakuan terhadap peubah yang diamati dilakukan dengan
cara membandingkan nilai F hitung dengan F tabel, dengan ketentuan sebagai
berikut :
a. Bila
nilai F hitung lebih kecil dari pada nilai F tabel 5%, maka perlakuan
dinyatakan berpengaruh
tidak nyata.
b. Bila
nilai F hitung lebih besar dari nilai F tabel 5% tetapi lebih kecil dari F
tabel 1%, maka perlakuan dinyatakan berpengaruh nyata.
c. Jika
nilai F hitung lebih besar dari nilai F tabel 1%, maka perlakuan dinyatakan berpengaruh
sangat nyata.
Apabila perlakuan menunjukan pengaruh nyata sampai
sangat nyata, maka dilakukan
uji lanjutan dengan menggunakan Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) dengan
2.4
Cara Kerja
2.4.1.
Pengambilan Eceng gondok
Eceng gondok di ambil dari pinggiran sungai dengan
memotong pangkal batang kemudian batang tersebut di cuci dengan menggunakan air.
2.4.2.
Pemotongan
Pemotongan di lakukan dengan pisau dengan ukuran 1
cm , pada bagian batang sebelum di potong di belah memanjang yang bertujuan
memperkecil bahan dan memudahkan dalam pengeringan.
2.4.3.
Penimbangan
Setelah dipotong bahan tersebut di timbang seberat 5
kg untuk pelakuan perebusan, kemudian 5 kg tanpa di lakukan pengukusan.
2.4.4.
Pengukusan
Bahan sebanyak 5 kg di lakukan pengukusan dengan menggunakan
dandang, kemudian di kukus selama 1 jam dengan menggunakan kompor gas, setelah 1 jam bahan tersebut di tiriskan dan biarkan dingin.
2.4.5
Pengeringan
Kedua bahan tersebut di keringkan terlebih dahulu
dengan di jemur di panas matahari selama 2 hari sebelum di oven.
2.4.6
Pengovenan
Pengovenan di lakukan dengan cara memasukan kedua bahan tesebut kedalam oven dengan suhu
60o C selama 24 jam.
2.4.6
Penggilingan
Penggilingan dengan menggunakan blender sampai halus
kemudian di lakukan pengayakan dengan menggunakan saringan.
2.5
Pengamatan
Dalam percobaan ini pengamatan di lakukan dengan
cara sebagai berikut :
2.5.1 Pengukuran Kadar Air
Kadar air di hitung dengan cara metode
ini mengeringkan sampel dalam oven 100-1050C sampai bobot konstan
dan selisih bobot awal dan akhir dihitung sebagai kadar air
2.5.2
PH
Bahan dilarutkan dalam aquades
dengan perbandingan 1 :10, sebanyak 5 gram contoh dilarutkan dalam 50 ml
aquades, homogenkan dan biarkan selama 20 menit, kemudian diukur pHnya.
2.5.3 Berat jenis
Berat
jenis merupakan perbandingan antara berat dengan volume bahan. Sampel bahan
dimasukkan ke dalam gelas ukur 100 mL menggunakan sendok secara perlahan sampai
mencapai volume 30 mL. Gelas ukur yang sudah berisi bahan ditimbang. Selanjutnya
sebanyak 50 mL aquades dimasukkan ke dalam gelas ukur tersebut. Untuk
menghilangkan udara antar partikel maka dilakukan pengadukan menggunakan
pengaduk. Sisa bahan yang menempel pada pengaduk dibilas dengan cara
menyemprotkan aquades dan ditambahkan ke dalam volume awal. Pembacaan volume
akhir dilakukan setelah konstan. Perubahan volume bahan setelah dicampur
aquades merupakan volume bahan sesungguhnya.
BJ = Bobot Bahan Pakan ( gr )
Perubahan Volume Aquades ( ml )
2.5.4 Kerapatan Tumpukan
Kerapatan
tumpukan diukur dengan cara mencurahkan bahan ke dalam gelas ukur dengan
menggunakan corong dan sendok teh sampai volume 100 ml. Gelas ukur yang telah
berisi bahan ditimbang. Perhitungan kerapatan tumpukan adalah dengan cara
membagi berat bahan dengan volume ruang yang ditempatinya (gram/mL).
2.5.5
Kerapatan
Pemadatan Tumpukan
Pengukuran kerapatan pemadatan
tumpukan hampir sama dengan kerapatan tumpukan, hanya saja volume bahan dibaca
setelah dilakukan pemadatan dengan menggoyang-goyangkan gelas ukur dengan
tangan selama 10 menit. Satuan kerapatan pemadatan tumpukan adalah gram/mL.
2.5.6
Sudut
Tumpukan
Pengukuran sudut tumpukan
dilakukan dengan cara menjatuhkan bahan pada ketinggian 15 cm melalui corong
pada bidang datar. Kertas manila berwarna putih digunakan sebagai alas bidang
datar (lantai). Ketinggian tumpukan bahan harus selalu berada dibawah corong.
Untuk mengurangi pengaruh tekanan dan kecepatan laju aliran bahan, pengukuran
bahan dilakukan dengan volume tertentu (100 mL) dan dicurahkan perlahan-lahan
pada dinding corong dengan bantuan sendok teh pada posisi corong tetap sehingga
diusahakan jatuhnya bahan selalu konstan. Sudut tumpukan (tg α ) bahan
ditentukan dengan mengukur diameter dasar (d) dan tinggi (t) tumpukan saat
bahan memantul setelah dijatuhkan. Besarnya sudut tumpukan dihitung dengan
rumus sebagai berikut:
|
|
2t |
|
0.5d |
d |
||
tg α =
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Secara umum hasil uji
kareteristik terhadap tepung eceng gondok
terhadap perlakuan perebusan dan tanpa perebusan Tabel 4.1.
Tabel 2. Peubah kadar air dan pH
No |
Peubah yang di amati |
E1 |
E2 |
1. 2. |
Kadar air pH Bahan |
94,09 % 6.98 |
96,77% 7,56 |
Tabel. 3 Hasil sidik ragam kareteristik terhadap tepung eceng
gondok
No |
Peubah yang di amati |
Perlakuan |
KK (%) |
1. 2. 3. 4. |
Berat Jenis Kerapatan Tumpukan Kerapatan Padatan Tumpukan Sudut Tumpukan |
222.81** 377.83** 1011.12** 972.86** |
29.45 22.93 13.65 13.93 |
Keterangan :
** = Berpengaruh sangat
nyata
KK = Koefisien Keragaman
Dari hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa Eceng gondok
berpengaruh nyata pada semua peubah yang di amati terdiri dari Berat jenis, Kerapatan Tumpukan,
Pemadatan Kerapatan Tumpukan, Sudut Tumpukan.
4.1 Kadar
Air
Eceng
gondok sebagai bahan baku pakan mempunyai beberapa kelemahan, yaitu kandungan
air yang tinggi, sehingga kalau di jadikan tepung sangat sedikit. Berdasarkan
data diatas ada perbedaan kadar air dari perlakuan tanpa perebuasan mauput di
lakuakan perebuasan hal ini di sebakan karena pada proses perebusan kadar air
lebih rendah di bandingkan dengan tanpa perebusan, dimana dalam proses
perebusan air masuk kedalam partikel sehingga akan mempengaruhi kadar air dari
tepung enceng gondok.
4.2 pH
Berdasarkan pada tabel 4.1 dapat di lihat pH tepung enceng gondok
memiliki perbedaan antar perlakuan tampa perebusan dengan perebuasan, hal ini
di sebabkan karean perosese perebusan
pada enceng gondok dapat mengurani kandaungan asam yang ada pada eceng gondok ,
di bandingkan dengan tanpa perebusan kadungan asam pada bahan masih ada.
4.3
Berat Jenis Tepung Enceng Gondok
Rata-rata berat jenis dalam tepung eceng gondok
dalam perlakuakn perebusan dan tanpa perebusan pada Tabel 4.
Perlakuan |
Kelompok |
Jumlah |
Rerata |
||||
I |
II |
III |
IV |
V |
|||
E1 |
0.69 |
0.55 |
0.65 |
0.72 |
0.63 |
3.24 |
0.65 b |
E2 |
0.45 |
0.56 |
0.47 |
0.60 |
0.39 |
2.47 |
0.49 a |
Jumlah |
1.14 |
1.11 |
1.12 |
1.32 |
1.02 |
5.71 |
0.23 |
Tabel 4. Rata-Rata Berat Jenis tepung
eceng gondok dalam perlakuakn perebusan dan tanpa perebusan
(gram/ml)
Keterangan : Huruf yang berbeda pada baris dan kolom
yang sama berbeda sangat nyata (P>0.01).
Pada tabel di atas menunjukan bahwa Berat Jenis (BJ)
merupakan perbandingan antara massa terhadap volume dan memegang peranan
penting dalam berbagai proses penanganan. Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukan perebusan berpengaruh sangat nyata (P > 0,01) terhadap berat jenis
tumpukan. Pada table diatas menunjukan bahwa rata-rata nilai berat jenis tepung
eceng gondok yang diberi perlakuan
perebusan lebih rendah dibandingkan
dengan tanpa perebusan.
Rendahnya nilai berat jenis tepung eceng gondok
pada perlakuan perebusan disebabkan adanya struktur yang padat dan
adanya pengaruh perebusan sehingga partikel bahan menjadi mengecil sehingga
nilai berat jenis rendah. Guathma (2001),
menyatakan bahwa ruang antara partikel bahan sudah terisi oleh aquades dalam
pengukuran sehingga nilai berat jenisnya rendah.
4.4
Kerapatan Tumpukan Tepung Eceng Gondok
Rata-rata kerapatan
tumpukan dalam tepung eceng gondok dalam perlakuakn perebusan dan tanpa
perebusan pada Tabel 5.
Tabel 5. Rata-Rata kerapatan tumpukan tepung eceng gondok dalam perlakuan
Perlakuan |
Kelompok |
Jumlah |
R erata |
||||
I |
II |
III |
IV |
V |
|||
E1 |
0.16 |
0.18 |
0.20 |
0.19 |
0.18 |
0.91 |
0.18 b |
E2 |
0.12 |
0.11 |
0.13 |
0.11 |
0.15 |
0.62 |
0.12 a |
Jumlah |
0.28 |
0.29 |
0.33 |
0.30 |
0.33 |
1.53 |
0.06 |
Keterangan : Huruf yang berbeda pada baris dan kolom
yang sama berbeda sangat nyata (P>0.01).
Kerapatan tumpukan (KT)
merupakan perbandingan massa bahan dengan volume yang ditempati. Berdasarkan
hasil sidik ragam menunjukan
berpengaruh sangat nyata (P > 0,01)
terhadap kerapatan tumpukan. Pada tabel diatas menunjukan bahwa rata-rata nilai
kerapatan tumpukan tepung enceng gondok yang diberi perlakuan perebusan lebih rendah dibandingkan dengan tampa perebusan. hal
ini disebabkan oleh ukuran partikel yang lebih kecil sehingga rongga semakin
sedikit dan juga mungkin disebabkan oleh kadar air tepung eceng gondok.
Sesuai dengan pendapat Khalil (1999 )
bahwa ukuran partikel berpengaruh terhadap kerapatan tumpukan, yaitu pengecilan
ukuran partikel secara nyata akan menyebabkan penurunan nilai kerapatan
tumpukan pada bahan pakan terutama pada bahan pakan jagung. Lebih lanjut Khalil
(1999a) mengatakan bahwa selain pengecilan ukuran partikel, kandungan air juga
berpengaruh nyata terhadap kerapatan tumpukan sebagian besar sumber protein hewani dan nabati, pakan hijauan dan bahan pakan
sumber energi.
4.5
Kerapatan
Pemadatan Tumpukan
Tepung Eceng Gondok
Rata-rata kerapatan pemadatan tumpukan dalam tepung
eceng gondok dalam perlakuan perebusan dan tanpa perebusan pada Tabel 6.
Tabel 6.
Rata-Rata kerapatan pemadatan tumpukan tepung
enceng gondok dalam perlakuakn perebusan dan tanpa perebusan
(gram/ml)
Perlakuan |
Kelompok |
Jumlah |
Rerata |
||||
I |
II |
III |
IV |
V |
|||
E1 |
0.75 |
0.68 |
0.70 |
0.64 |
0.66 |
3.43 |
0.69 b |
E2 |
0.64 |
0.55 |
0.63 |
0.64 |
0.63 |
3.09 |
0.62 a |
Jumlah |
1.39 |
1.23 |
1.33 |
1.28 |
1.29 |
6.52 |
0.26 |
Keterangan : Huruf yang berbeda pada baris dan kolom
yang sama berbeda sangat nyata (P>0.01).
Kerapatan
tumpukan diukur dengan cara mencurahkan bahan ke dalam gelas ukur dengan
menggunakan corong. Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukan berpengaruh sangat nyata
(P > 0,01) terhadap kerapatan pemadata tumpukan. Pada table diatas
menunjukan bahwa rata-rata nilai kerapatan pemadatan tumpukan tepung eceng
gondok yang diberi perlakuan perebusan lebih rendah dibandingkan dengan tampa perebusan. Hal ini di sebabkan karena
berbedanya partikel, kadar air tepung eceng gondok dan pengaruh dari
penggoyangan bahan tersebut.
Hal ini sesuai dengan pendapat Khalil (1999)
bahwa ukuran partikel
berpengaruh nyata terhadap kerapatan pemadatan tumpukan, yaitu akan
meningkatkan nilai kerapatan pemadatan tumpukan. Nilai kerapatan pemadatan tumpukan ini selain
dipengaruhi oleh kadar air dan ukuran partikel, juga dipengaruhi oleh
ketidaktepatan pengukuran. Sebaiknya pengukuran kerapatan pemadatan tumpukan
dilakukan dengan menggunakan mesin penggoyang yang diketahui kekuatannya dan
dijamin kekonsistenannya.
4.6
Sudut
Tumpukan
Tepung Eceng Gondok
Rata-rata kerapatan pemadatan tumpukan dalam tepung
enceng gondok dalam perlakuan perebusan dan tanpa perebusan pada Tabel 7.
Tabel . 7 Rata-Rata sudut tumpukan
eceng gondok dalam perlakuan perebusan dan tanpa perebusan
(gram/ml)
Perlakuan |
Kelompok |
Jumlah |
Rerata |
||||
I |
II |
III |
IV |
V |
|||
E1 |
52.10 |
53.10 |
51.00 |
49.90 |
53.30 |
259.40 |
51.88 b |
E2 |
49.20 |
39.90 |
48.20 |
42.30 |
47.20 |
226.80 |
45.36 a |
Jumlah |
101.30 |
93.00 |
99.20 |
92.20 |
100.50 |
486.20 |
19.45 |
Keterangan : Huruf yang berbeda pada baris dan kolom
yang sama berbeda sangat nyata (P>0.01).
Pengukuran
sudut tumpukan dilakukan dengan cara menjatuhkan bahan pada ketinggian 15 cm
melalui corong pada bidang datar. Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukan berpengaruh sangat nyata (P > 0,01) terhadap sudut tumpukan. Pada
table diatas menunjukan bahwa rata-rata nilai kerapatan pemadatan tumpukan
tepung enceng gondok yang diberi
perlakuan perebusan lebih rendah
dibandingkan dengan tampa perebusan. Hal
ini di karenakan disebabkan oleh ukuran partikel dan kadar air dalan tepung enceng gondok.
Hal ini sesuai dengan pendapat Khalil (1999) yang
menyatakan bahwa ukuran partikel yang
semakin kecil akan membentuk sudut tumpukan tinggi, lebih mudah dan lebih
akurat ditakar baik secara volumetrik dan gravimetris.
IV.
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan dan pengolahan data
bahwa perebusan berpengaruh nyata terhadap nilai sifat karakteristik fisik
pakan (berat jenis, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, dan sudut
tumpukan) yaitu meningkatkan kapasitas ruang penyimpanan dan memudahkan
pengangkutan.
4.2.
Saran
Berdasarkan
hasil yang diperoleh maka disarankan dalam penggunaan tepung enceng gondok
sebaikanya di beri perlakuakn terlebih dahulu seperti pemberian air kemudian di
berikan keternak.
DAFTAR
PUSTAKA
Damayanthi, E dan
E. D. Mudjajanto. 1995. Teknologi Makanan. Depertamen Pendidikan Dan Kebudayaan
Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Dan Menengah Kejuruan Proyek Peningkatan
Pendidikan Dan Kejuruan Non teknik II, jakarta.
Guathama, P. 1998. Sifat
Fisik Pakan Lokal Sumber Energi, Sumber Mineral, serta Sumber Hijauan Pada
Kadar Air dan Ukuran Partikel yang Berbeda. Skripsi Fakultas Peternakan IPB,
Bogor.
Khalil.
1999a. Pengaruh Kandungan
Air dan Ukuran Partikel terhadap Sifat Fisik
Pakan Lokal: Kerapatan Pemadatan tumpukan dan Berat Jenis: Media Peternakan. 22
(1) :1 -11
Khalil. 1999b. Pengaruh Kandungan
Air dan Ukuran Partikel terhadap Sifat Fisik
Pakan Lokal: Sudut Tumpukan dan Faktor
Higroskopis. Media Peternakan, 22 (1) : 33-42.
Mujnisa.
2008. Peningkatan Aktivitas dan
Prestasi Belajar Mahasiswa Dalam Matakuliah Bahan Pakan Dan Formulasi Ransum.
Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin.
Makassar.
Syarief, R. dan Halid. 1992.
Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan, Jakarta.